Tiga bulan berlalu, semua seperti baik-baik saja bagi Reno maupun Adi, bahkan mungkin sang perekrut… Sampai sebuah kejadian mengagetkan Adi, sang Ayah terjatuh di kamar mandi selepas olah raga pagi rutin… Bergegas menuju rumah sakit, pertolongan medis pun diberikan… Adi pun terpana memperhatikan pria gagah berusia 51 tahun itu roboh seketika, tanpa peringatan dini… Olah raga adalah makanan sehari-hari sang Ayah… Namun rokok pulalah yang menemaninya sebelum dan selepas olah raga… Makanan bersantan dan tinggi kolesterol adalah menu karibnya… Duren pun menjadi candu tersendiri… Ajaib, puluhan tahun Adi menyaksikan sang Ayah hidup dengan kebiasaan seperti itu tanpa gangguan kesehatan, kini sang Ayah rebah dalam pelukan kasur rumah sakit ternama di Selatan Jakarta… Adi berandai, jika saja sang Ibunda masih ada tentu Ia tak akan sepanik ini… Sayang, sang Ibunda lebih dulu menghadap sang pencipta lima tahun lalu setelah tiga tahun sebelumnya berjuang melawan penyakit berkode DM1, Diabetes Melitus tipe 1… Apa yang kini menimpa sang Ayah? Adi berharap, “Moga-moga Ayah hanya kelelahan ya…” Dokter berkata lain, “Adi, papa kamu saat ini sedang kami obeservasi. Segera akan kami kabari kondisinya. Kamu yang tenang ya…” Sedikit menenangkan namun lebih banyak membuat penasaran… Setelah ditunggu kabar itu pun keluar, “Adi, papa kamu terserang stroke. Stroke hemorragik . Saat ini kami lakukan yang terbaik untuk menyelamatkan Papa kamu. Kamu yang sabar ya…” Seketika Adi mengambil gadget canggihnya, memasukan kata “stroke” ke perambah dan mendapatkan banyak sekali artikel mengenai stroke… Demi memuaskan penasaran, Ia pun membaca satu persatu sementara satu per satu air matanya menetes, membayangkan yang terburuk didepan mata… Lima tahun lalu, dokter yang menangani almarhum Ibunda Adi berujar mirip-mirip, berusaha menenangkan sang Ayah di masa itu… “Stroke[1] (bahasa Inggris: stroke, cerebrovascular accident, CVA) adalah suatu kondisi yang terjadi ketika pasokan darah ke suatu bagian otak tiba-tiba terganggu. Dalam jaringan otak, kurangnya aliran darah menyebabkan serangkaian reaksi biokimia, yang dapat merusakkan atau mematikan sel-sel saraf di otak. Kematian jaringan otak dapat menyebabkan hilangnya fungsi yang dikendalikan oleh jaringan itu. Stroke adalah penyebab kematian yang ketiga di Amerika Serikat dan banyak negara industri di Eropa (Jauch, 2005). Bila dapat diselamatkan, kadang-kadang penderita mengalami kelumpuhan di anggota badannya, hilangnya sebagian ingatan atau kemampuan bicaranya. Beberapa tahun belakangan ini makin populer istilah serangan otak. Istilah ini berpadanan dengan istilah yang sudah dikenal luas, “serangan jantung”. Stroke terjadi karena cabang pembuluh darah terhambat oleh emboli. Emboli bisa berupa kolesterol atau udara” Dari wikipedia di link ini http://id.wikipedia.org/wiki/Stroke, Adi menemukan artikel diatas… Masih bingung dengan maksud penyakit stroke, Adi hanya membaca berulang-ulang poin ini, “Merusak atau mematikan sel-sel saraf di otak”, “Kematian jaringan otak” dan yang jelas-jelas Adi dapat mengerti adalah kalimat, “Stroke adalah penyebab kematian” serta “Bila dapat diselamatkan, kadang-kadang penderita mengalami kelumpuhan di anggota badannya”… Empat poin yang membuat Adi pucat mendapati sang Ayah bukan kelelahan semata, namun terkena penyakit serius, stroke hemorragik alias pecahnya pembuluh darah di otak … Entah apa yang terjadi selanjutnya… Tujuh hari sudah sang Ayah dirawat, biaya yang dikeluarkan tak terhitung lagi… Kamar VIP membuat biaya membengkak, untunglah Oom Sam asisten kepercayaan sang Ayah terus mengawal proses ini dengan baik… Disela-sela menunggui sang Ayah, Pak Sam dan Adi bercerita perihal awal terjadinya kejadian ini… Tentunya obrolan ini terjadi disaat tamu sang Ayah telah selesai menjenguk dari luar ruang ICU… “Oom Sam, Ayah kenapa bisa begini sih?”, ujar Adi penuh tanya… Oom Sam menjawab dengan getir, “Aku sudah ingatkan Papa kamu, usianya tidak lagi baik untuk terus hidup dengan rokok dan jeroan, tapi ya Papa-mu itu lah…”, jawab Oom Sam… Obrolan berlanjut ke topik yang lebih pribadi ke Adi… “Di, kamu kenapa sih ngga mau nerusin usaha Papa? Atau setidaknya kamu kerja di perusahaan teman Papa kamu itu? Kok Oom dengar kamu nolak terus?”, ujar Oom Sam… “Mau mandiri Oom, ngga tergantung dari Papa dan ngga mau kerja sama teman Papa, nanti hutang budi. Karena itu aku nyari kerjaan sendiri”, ujar Adi lirih… Suasana hening dan mereka pun saling menyibukan diri… Oom Sam tahu, sang Papa keras pendiriannya begitu juga sang Anak… Selepas peninggalan sang Ibunda, Papa Adi lebih melunak… Hari kesepuluh tiba, dokter memanggil Oom Sam dan Adi, memberitahukan bahwa saat ini kehidupan sang Ayah hanyalah bergantung kepada alat bantu pernafasan… Pilihan harus diambil, “Terus menggunakan alat bantu atau melepaskannya” Pihak keluarga beserta Adi sepakat merelakan alat bantu pernafasan dilepas dari tubuh sang Ayah dengan berat hati, agar beliau tidak tersiksa lebih lama… Dan bunyi “beep” panjang merintih diruang ICU menandakan detak jantung sang Ayah telah hilang, seketika setelah alat bantu dilepaskan… Hening…Sunyi… Senyap… Proses persiapan dari rumah duka hingga pembaringan terakhir telah dijalankan dan selesai… Tiba waktunya untuk Adi menatap hari esok, yang sudah tentu akan berubah total… Hidup sendiri tanpa orang tua… Tiba saat pembacaan wasiat dan pembagian warisan… Notaris membacakan wasiat Ayahanda satu per satu dan tidak ada yang krusial… Hingga tiba sebuah surat diserahkan oleh notaris kepada Adi, tertutup rapih dan belum ada niatan untuk Adi membukanya… Lepas urusan waris, Oom Sam melaporkan seluruh hal yang terkait dengan usaha sang Ayah… Berita yang tak kalah buruk menghampiri Adi… “Usaha Ayah-mu memiliki hutang yang besar dan sudah jatuh tempo Adi… Sepanjang sepuluh hari di rumah sakit, ada banyak biaya yang dikeluarkan dari kantong Ayah kamu…”, tegas Oom Sam… “Usaha pun sedikit tersendat sebenarnya selama ini, khususnya sepanjang lima tahun sejak Ibu kamu pergi… Ayah kamu seperti kehilangan gairah… Puncaknya adalah sehari sebelum Ayah kamu stroke… Keputusan pengadilan menyatakan perusahaan Ayah kamu dipailitkan…”, penjelasan singkat dari Oom Sam… “Kok tidak ada yang kasih tau aku Oom?”, sergah Adi… “Sudah Adi, sudah pernah Ayah kamu coba… Ayah kamu memanggil kamu sejak tahun lalu untuk meminta kamu duduk di perusahaannya, membantu Ia merapihkan semuanya… Hanya kamu motivasi dia yang terakhir… Dan kamu pun bergeming… Kini semua sudah berakhir…”, jelas Oom Sam… Shock berat Adi mendengar semua itu… Namun apa dikata, proses pengadilan pun telah memutuskan sita aset yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat… Perusahaan Ayahnya yang dibangun puluhan tahun, rontok seketika… Rumah megah yang Ia tempati selama ini dan mobil yang digunakan Adi sehari-hari, disita begitu saja… Hanya tersisa sebuah rumah sederhana peninggalan Ayahnya di daerah Depok… Praktis Adi harus angkat kaki dari kediaman megahnya selama ini… Pun Adi angkat kaki dari kehidupan selama ini yang bertemakan, KE-KA-YA-AN! Uang cash di tangan tak lebih dari 10 juta, sisa lainnya dari waris harus Ia relakan menebus hutang usaha sang Ayah… Tak tanggung-tanggung, rumah sederhana peninggalan sang Ayah saat ini tak layak huni. Dua puluh tahun lamanya tak dihuni dan atau sekedar dikunjungi, hanya menyisakan puing bangunan karena seluruh bagian rumahnya telah dijarah… Adi pun terpuruk seketika… Saudara Adi saling ingin membantu, bahkan Oom Sam ingin Adi tinggal bersamanya… Begitu banyak jasa Ayah Adi bagi keluarga mereka dan juga Oom Sam menjadikan mereka berlomba-lomba ingin membalas budi… Namun Adi memiliki prinsip tidak ingin ada hutang budi… Maka inilah tiba saatnya Adi berjuang diatas kaki sendiri… Tiga bulan sepeninggalan sang Ayah, Adi masih tidak mendapatkan pekerjaan… Uang menipis… Kehidupan terus berjalan… Entah mengapa, dari tas kesayangannya tersembul sebuah amplop lusuh… Adi buka dan ternyata surat dari mendiang Ayahanda tempo hari yang diserahkan notaris berisikan, “Adi, kelak kamu harus benar-benar mandiri tanpa Ayah. Keputusan kamu untuk mandiri Ayah hargai. Pastikan kamu bertanggung jawab dengan pilihan itu. Buktikan kamu dapat menjadi lebih baik dari Ayah” Terpana, tak mampu berkata-kata… Adi kali ini berharap isi surat itu adalah peta harta karun atau nomer telepon sahabat sang Ayah yang siap membantu, namun ternyata isinya hanyalah pesan singkat 29 karakter… Saat menarik amplop tersebut, Adi melihat isi tas kesayangannya penuh dengan kertas dan beberapa lembar surat lamaran… Berusaha merapihkan, Adi mengeluarkan satu per satu kertas-kertas tersebut dan sebuah kertas menyerupai undangan terlihat, bertuliskan, “Hadirilah, Business Opportunity Presentation bla bla bla…” Seketika Adi teringat sebuah kejadian di coffee shop kurang lebih enam bulan lalu, ada seseorang meminjam koreknya dan menawarkan untuk menjadi agen asuransi jiwa… Adi teringat kata-kata ini, “Nah, pas itu Mas! Saya ada undangan untuk Mas kalau mau kerjaan bagus… Uangnya itu lho Mas, bisa beli ini itu… Penghasilannya ngga terbatas” “Apa iya?!”, kata Adi dalam hati… Dibaliklah undangan itu dan segera di hubungi nomer tanpa nama pemiliknya yang tertera dibalik undangan… Sekali – dua kali dihubungi, tidak diangkat… Alamat dibawahnya, sebuah agensi berlokasi di Sudirman menarik perhatian Adi untuk bertandang… Daerah Sudirman, gedung ternama, lebih dari satu lantai pula. Baguskah bisnis ini?! “Hmmm… Jadi agen asuransi?!”, Adi berpikir keras… BERSAMBUNG... PART 3
0 Comments
Leave a Reply. |
ArchivesCategories |